BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perjalanan kisah perkembangan manusia di
dunia tidak dapat kita lepas dari keebradaan bentangan luas perbukitan tandus
yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu
dikenl dengan situs Sangiran. Sangiran merupakan kompleks situs manusia purba
dari kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia,
bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia,
yang memberikan oetunjuk tentang keberadeaan manusia sejak 150.00 tahun yang
lalu.
Situs Sangiran
merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat
adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan
yang bergelombang. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan
lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan gersang pada
musim kemarau.
B. Letak
Geografi Museum Purbakala Sangiran
Letak Geografi Museum Purbakala
Sangiran terletak di Ds. Krikilan Kec. Kalijambe Kab. Sragen. Situs Sangiran memiliki
luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah
timur-barat.
C. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
cara hidup makhluk hidup pada zaman praaksara?
2. Mengapa
fosil - fosil banyak ditemukan di daerah Sangiran?
D. Tujuan
Observasi
1. Untuk
mengetahui Sejarah perkembangan Manusia, Hewan purba serta kebudayaan, cara
hidup pada zaman 150.000 tahun yang lalu.
2. Mengidentifikasi
fosil – fosil makhluk hidup
3. Mengetahui
letak geografis Museum Sangiran
E. Manfaat
Observasi
1. Menambah
wawasan tentang sejarah perkembangan makhluk hidup
2. Mengetahui
bentuk bentuk fosil pada masa praaksara
3. Mengetahui
cara hidup makhluk hidup masa praaksara
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Faleontologi
B. Sejarah
Perkembangan Makhluk Hidup
C. Sejarah
Penemuan Fosil – fosil
BAB
III
KAJIAN
OBSERVASI BENDA – BENDA PURBAKALA di
MUSEUM
SANGIRAN
A. Koleksi
benda Purbakala di Sangiran
B. Perawatan
/ pemeliharaan Benda – Benda di Museum Purbakala Sangiran
1. Secara
Alami
2. Secara
Kimia
3. Secara
Fisik
4. Secara
Biologi
C. Karakteristik
Benda Purbakala di Museum Sangiran
1. Secara
Morfologi / Bentuk Morfologi
2. Secara
Anatomi
3. Secara
Fisiologi
D. Berbagai
Faktor yang Berkaitan dengan benda Purbakala di Museum Sangiran
1. Geografis
2. Masa
/ Waktu
3. Musim
/ Iklim
4. Penaranan
manusia / teknologi
BAB
IV
PEMBAHASAN
Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Pasal 1(1) PP no. 19 Tahun 1995)(Hamzuri dkk, 1997). Museum bukan sekedar tempat sumber informasi, masih banyak yang bisa didapatkan jika kita menelaah lebih jauh. Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia. Museum Sangiran merupakan destinasi pariwisata yang menyimpan koleksi ribuan temuan fosil antara lain fosil manusia, hewan bertulangbelakang, binatang air, batuan, tumbuhan laut dan alat-alat batu. Secara stratigrafi situs Sangiran merupakan situs manusia purba terlengkap di Asia yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan dan tanpa putus sejak dua juta tahun yang lalu menurut riwayat penelitian hingga sekitar 200.000 tahun yang lalu.
Situs Sangiran memiliki potensi penting bagi ilmu pengetahuan,
sejarah dan kebudayaan. Secara arkeologis arti penting situs Sangiran didapat
dari penemuan alat-alat batu di desa Ngebung yang dikenal dengan istilah
“Sangiran Flakes Industry”, berupa alat-alat serpih dari batu kalsedon dan
jaspis. Peralatan lain selain serpih yang ditemukan mulai dari yang berciri
paleolitik hingga neolitik. Potensi Sangiran tersebut menyebabkan situs ini
dianggap sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia dan digunakan
sebagai tolak ukur untuk mengkaji proses-proses evolusi secara umum. Tujuan
dari ilmu arkeologi adalah berusaha merekonstruksi sejarah kebudayaan masa
lalu, cara-cara hidup maupun proses-proses budaya yang pernah terjadi. Melalui
kajian arkeologi, kehidupan masa lampau dapat disajikan ke permukaan.
Penelitian terhadap fosil dan artefak sekaligus membawa peneliti pada cara
hidup mahkluk purba itu. Di dalam arkeologi publik, seorang arkeolog dituntut
untuk membuat sebuah publikasi dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitiannya,
sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari hasil penelitian arkeologi
yang dilakukan.
Sebagai ilmu yang berkompeten untuk mengungkap budaya maupun
kehidupan purba, Sangiran memberikan bidang yang luas guna pengumpulan data
tentang budaya dan evolusi manusia. Penelitian berkelanjutan yang telah
dilaksanakan untuk mengungkap kandungan budaya maupun sebaran situs, menjadi
bukti implementasi arkeologi. Dari Sangiran kita bisa memperoleh informasi
tentang sejarah kehidupan manusia purba dengan kehidupan dan lingkungannya.
Banyaknya fosil yang terkumpul menunjukkan Museum Sangiran
sebagai situs prasejarah yang memiliki peran penting dalam memahami proses
evolusi manusia. Alat-alat batu yang ditemukan di wilayah Sangiran merupakan
perwujudan adaptasi manusia purba terhadap lingkungannya. Mereka mulai
menciptakan peralatan dari batu meski dalam taraf teknologi sederhana. Melalui
Sangiran digali informasi mengenai habitat, populasi, binatang yang hidup pada
masa itu, dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang
dari 2 juta tahun yang lalu.
Evolusi membicarakan tentang asal-usul hidup dan kehidupan.
Evolusi mencoba merekonstruksi bentuk mahkluk hidup, sejak jaman purba sampai
sekarang, beserta aktivitas dan segala hal yang mendukung aktivitas hidupnya.
Sifat tidak mudah puas akan persoalan hidupnya memaksa manusia memaksimalkan
penggunaan otaknya untuk mencari jawaban. Dari perkembangan tingkat sederhana
hingga hal yang semakin kompleks. Dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar hingga
kebutuhan sekunder bahkan tersier. Ilmu Arkeologi (atau ilmu sejarah kebudayaan
purbakala) pada mulanya meneliti sejarah dari kebudayaan-kebudayaan kuno dalam
zaman purba (Koentjaraningrat,1990).
Perkembangan volume otak manusia diikuti pula dengan kemampuannya
mengolah apa yang alam berikan. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, dimulai
dengan kebutuhan dasar, memaksa manusia mengembangkan kemampuannya untuk
pemenuhan bertahan hidup. A Wallace mengemukakan mengenai proses seleksi alam,
mahkluk yang bisa bertahan yang akan eksis.
Evolusi pada manusia mempunyai nilai yang berbeda dengan evolusi
tingkat hewan. Pada tingkat hewan, evolusi itu dirangsang oleh kondisi material
alam sekitarnya berupa makanan, suhu, tekanan udara dan lain-lain, yang secara
mekanis mendorong pertumbuhan atau melenyapkan sel-sel tertentu dari generasi
ke generasi. Suatu populasi yang tidak mampu mengadakan perubahan seirama
dengan alamnya, sehingga dari generasi-ke generasi mereka punah. Evolusi pada
manusia bukan lagi tingkat jasmaniah, namun ia dikontrol oleh kondisi spiritual
(metafisik) alam sekitarnya, yang menumbuhkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Dengan kebudayaan, manusia mempunyai daya dan berusaha untuk merobah alamut.
Tugas arkeolog adalah menemukan kembali makna budaya sumber daya
arkeologi dan menempatkannya dalam konteks sistem sosial masyarakat sekarang.
Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari masa
lampau. Mereka melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa peralatan hidup
atau senjata. Benda–benda ini adalah barang tambang mereka. Tujuannya adalah menggunakan
bukti-bukti yang mereka dapatkan untuk merekonstruksi atau membentuk kembali
model-model kehidupan pada masa lampau. Dengan melihat pada bentuk kehidupan
yang direkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan bagaimana masyarakat
yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau bagaimana mereka datang ketempat itu
atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu berinteraksi. Pembuatan peralatan
membutuhkan ingatan, perencanaan dan pemecahan masalah yang abstrak. Hal ini
menandai awal dimulainya fungsi kebudayaan untuk membantu kita beradaptasi
dengan lingkungan, suatu kemampuan yang khas manusia. Evolusi terjadi karena
sifat adaptif yang dimiliki manusia. Manusia beradaptasi melalui medium
kebudayaan pada waktu mereka mengembangkan cara-cara untuk mengerjakan sesuatu
sesuai dengan sumberdaya yang mereka temukan dan juga dalam batas-batas
lingkungan tempat mereka hidup. Proses adaptasi menghasilkan keseimbangan yang
dinamis antara kebutuhan penduduk dan potensi lingkungannya. Adaptasi untuk
mempertahankan hidup membuat manusia bertindak untuk memanfaatkan apa yang
telah disediakan alam. Evolusi sebagai upaya adaptasi lingkungan seperti contoh
teknik yang digunakan mereka untuk mendapatkan hewan buruan, misalnya dengan
membuat jebakan atau menggiring binatang-binatang tersebut ke arah jurang yang
terjal.
Tidak bisa dihindari bahwa manusia harus selalu bisa adaptif
karena alam menyeleksi mahkluk yang bisa bertahan. Proses adaptasi yang
berlangsung menghasilkan bentuk kontinuitas sosial. Struktur adaptasi menimbulkan
perubahan. Adaptasi bisa berupa internal dan eksternal. Adaptasi internal
melalui mutasi, perubahan-perubahan dalam fungsi organ, dan pergantian sel-sel
hidup. Proses internalisasi biologis yang membentuk sel organisma berjalan
secara berkelanjutan. Sedangkan, adaptasi eksternal adalah kehidupan
bermasyarakat harus disesuaikan dengan lingkungan alam.
Dalam rangka melanjutkan hidupnya, manusia diharuskan berhubungan
dengan lingkungannya. Hubungan manusia dan lingkungan lebih banyak ditekankan
pada tema adaptasi. Proses adaptasi yang berlangsung menghasilkan bentuk
kontinuitas sosial. Struktur adaptasi menimbulkan perubahan. Lingkungan fisik
(alam) adalah pendorong utama dalam kehidupan manusia. Perkembangan pola
kehidupan suatu masyarakat dalam bentuk kebudayaan dipandang sebagai pengaruh
yang dimunculkan oleh lingkungan alamnya. Pola hubungan antara fenomena sosial
budaya dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh unsur tengah, yaitu suatu
kumpulan tujuan dan nilai-nilai spesifik, suatu kumpulan pengetahuan dan
keyakinan, atau adanya suatu pola kebudayaan.
Pada manusia, tingkah-laku tergantung pada proses pembelajaran.
Apa yang manusia lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan
sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana
bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya
dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang
oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Jadi, kebudayaan menunjuk
pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia
yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Pola hubungan manusia dan lingkungannya tidak selalu bertujuan
menjaga homeostatis (keseimbangan). Walaupun adaptasi tertentu kelihatannya
baik untuk untuk jangka waktu pendek dan bijaksana di mata masyarakat yang
bersangkutan, tetapi dalam jangka waktu yang panjang justru terlihat merugikan
keseimbangan lingkungan, kesehatan manusia, bahkan merugikan masa depan satuan
sosio kultural tersebut. Antropologi melihatnya sebagai suatu perangkat proses
psikologis, juga suatu perangkat respon perilaku baru yang diadaptasikan pada
situasi-situasi dan waktu-waktu tertentu. Pengendalian kebutuhan-kebutuhan
individu dipandang tidak relevan bagi pengendalian sumber daya alam oleh
kelompok atau mayarakat, karena dalam mengendalikan penggunaan sumber alam,
suatu kelompok atau masyaratat bisa saja menyalahgunakan sumber alam lainnya.
Manusia adalah mahkluk yang mempunyai kemampuan beradaptasi paling
tinggi. Teori evolusi mengajarkan bahwa manusia sebagai homo sapiens telah
mengalami perubahan dan perkembangan, baik dalam bentuk tubuh, struktur anatomi
dan kemampuan otak untuk berpikir. Dalam jangka waktu yang lama, interaksi
manusia dengan alam sekitarnya menghasilkan daya adaptasi yang tinggi dalam
menyelenggarakan regenerasi yang berkembang sesuai daya dukung alam. Dengan
kapasitas otak yang dimilikinya, manusia memanfaatkan akal pikirannya untuk
menemukan, membuat serta menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari
pengalamannya, seperti cara mengatasi hambatan-hambatan alam dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginan hidupnya. Adaptasi terhadap lingkungan baru menciptakan
dinamika kebudayaan.
Lingkungan fisik (alam) adalah pendorong utama dalam kehidupan
manusia. Dengan kata lain, perkembangan pola kehidupan suatu masyarakat dalam
bentuk kebudayaan dipandang sebagai pengaruh yang dimunculkan oleh lingkungan
alamnya. Aliran neo fungsionalisme, berusaha menunjukkan bahwa gejala-gejala
sosio kultural mempunyai fungsi adaptif terhadap lingkungan, atau
setidak-tidaknya mempunyai fungsi dimana faktor-faktor lingkungan dimanipulasi
dalam pola mata pencaharian masyarakat bersangkutan. Pengikut pendekatan ini
memandang organisasi sosial dan kebudayaan populasi spesifik sebagai adaptasi
fungsional yang memungkinkan populasi-populasi itu mengeksploitasi lingkungan
mereka tanpa melampaui daya dukung lingkungan tersebut. Satuan yang digunakan
di sini ialah suatu populasi dan bukan satuan sosial (social order).
Situs Sangiran merupakan kekayaan dunia yang sangat penting dan
harus dilestarikan serta dikembangkan. Sebagai sebuah lembaga yang menjadi
tempat kunjungan banyak orang, museum menjadi titik sentral jembatan atas out
put ilmu, dalam hal ini arkeologi, yang bisa dirasakan langsung oleh mayarakat.
Penemuan fosil yang begitu banyak menjadikan Sangiran sebagai sebuah kawasan
manusia purba yang selalu menjadi penelitian hingga sekarang. Secara umum, hasil-hasil
penelitian telah dapat menggambarkan kehidupan manusia purba, budaya, dan
lingkungan kala Plestosen.
Fosil merupakan petunjuk adanya evolusi, sebagai catatan sejarah
yang dapat digunakan untuk mengetahui jejak-jejak atau bekas kehidupan makhluk masa
lampau. Evolusi manusia dan budaya berjalan secara pararel. Antara keduanya
saling mempengaruhi. Kebudayaan mengalami proses perubahan dari satu tahap ke
tahap selanjutnya secara evolutif. Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga
dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara biologis atau
pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan
perilaku manusia yang digerakkan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain
yang tingkah lakunya digerakkan oleh insting.
Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, ia mengalami
perubahan secara evolusioner. Dalam Antropologi Kognitif, yang dikembangkan
oleh Ward H. Goodenough (1950-an), membawa definisi budaya dari yang fisik
menuju pengertian bahwa budaya sebagai sistem pengetahuan. Konsep arkeologi
publik dalam batasan luas selalu akan menempatkan masyarakat sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan warisan budaya. Masyarakat pada
hakekatnya, adalah pemegang penuh hak atas pemanfaatan sumber daya arkeologi.
Merekalah pada dasarnya yang akan memberikan makna sumber daya arkeologi
tersebut, baik untuk identitas, media hiburan atau hobi, sarana rekreasi, dan
kepariwisataan. Sumber daya arkeologi dapat pula dimaknai secara berbeda sesuai
dengan orientasinya, misalnya untuk media pendidikan atau ilmu pengetahuan,
bahkan sebagai peneguhan jatidiri bangsa.
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena
kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada
lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya.
Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil
pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap
lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena
terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut.
Kecenderungan warisan budaya yang seringkali dikatakan sebagai media yang
memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kebudayaan bangsa, ternyata
mengandung nilai-nilai yang pewarisannya dapat terjadi secara berbeda.
Arkeologi publik sebagai teori atau strategi tentang bagaimana cara supaya
warisan budaya dapat dimanfaatkannya sekaligus dipahami maknanya oleh
masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
hasil pengamatan kelompok kami, dapat disimpulkan bahwa kehidupan pada masa
praaksara memiliki sejarah yang sangat berarti bagi kehidupan modern saat ini.
Karena zaman praaksara membuat kita mengerti dan paham asal usul pada zaman
praaksara.
Perbedaan-perbedaan jenis tanah, bentuk fosil serta jenis fosil
yang terdapat pada empat lapisan tanah (Kalibeng, Pucangan, Kabuh, Notopuro)
menunjukkan bahwa di Sangiran telah terjadi evolusi. Evolusi adalah konsep umum
yang berlaku bagi setiap benda di alam semesta. Evolusi merupakan kejadian
sebab akibat yang sangat panjang dan kolosal. Evolusi tidak semata-mata
terjadinya perubahan sederhana atau perubahan adaptif. Begitu kompleksnya
bidang yang bisa dijamah, membuat evolusi sebagai bidang keilmuan yang diharapkan
mampu memberi solusi atas permasalahan tentang asal mula sesuatu, beserta
perubahannya baik yang sudah punah maupun yang tetap eksis, dan kajian itu
dipakai sebagai masukan untuk tindakan masa depan. Ilmu dalam menyoroti manusia
tidak lepas dari gagasan evolusi (khususnya sains modern).
B. Saran
Saran
yang bisa kami sampaikan adalah “Jangan pernah melupakan sejarah asal usul kita
berasal”.
terimakasih gan
ReplyDeleteSang I ran kontol
ReplyDeleteMuni
ReplyDelete